Postingan

Menampilkan postingan dari April, 2025

Satu Pucuk Bunga untuk Aku yang Tak Lagi di Sampingmu

 Hai… ini aku. Aku yang selalu jadi si periang di antara kita. Aku yang sering kalian panggil pelawak karena tawa yang selalu kusembunyikan di balik lelahku. Tak terasa, sudah delapan tahun kita berjalan bersama dalam ikatan yang tak pernah retak: persahabatan. Untuk kalian, yang selalu ada, Yang tak pernah lelah menjadi pelindung saat aku terjatuh, Yang tak pernah pergi saat aku tertekan, Yang tetap di sini, saat semua orang menjauh. Elvin, Aul, Desy… Kalian adalah cahaya kecil yang selalu membuat hari gelapku terasa sedikit lebih terang. Kalian adalah pelukan diam yang tak pernah kupinta, tapi selalu kutemukan saat aku butuh. Terima kasih sudah membanggakan aku, bahkan di saat aku tak bisa membanggakan diriku sendiri. Jika suatu hari nanti, langkahku harus berhenti lebih dulu, Jangan lupa untuk datang… Bukan dengan kue, bukan dengan kado— Cukup satu pucuk bunga yang harum dan cantik, Seperti yang selalu kalian tahu, aku menyukainya. Datanglah setiap tanggal 12 Ju...

Bukan Aku yang Tak Siap, Tapi Kau yang Tak Mampu Menunggu

 “Apakah perbedaan umur bisa jadi alasan?” Pertanyaan itu terus bergema di kepalaku. Seolah tiap kali aku mencoba memahami kepergianmu, hanya itu jawabannya—umur. Katamu aku belum cukup dewasa. Belum cukup matang. Padahal aku tak butuh menjadi sempurna sekarang, aku hanya ingin kau percaya bahwa aku sedang menuju ke sana. Untukmu. Tapi kau memilih pergi. Meninggalkan aku yang baru saja belajar bagaimana cara menggenggam. Meninggalkan aku, saat aku mulai yakin bahwa cintaku bisa menyamamu. “Kenapa kau tak cukup sabar?” Aku ingin berteriak. Bukankah mencintai artinya menunggu? Bukankah mencinta itu percaya bahwa waktu bisa menyembuhkan celah? Aku tak pernah minta kau menunggu seumur hidup. Aku hanya minta sedikit saja... Sedikit keberanian untuk tetap tinggal. Sedikit kesabaran untuk melihatku tumbuh, bukan pergi saat aku baru mulai berakar. Malam-malam setelah kepergianmu jadi sunyi yang menggigit. Setiap aku menoleh ke belakang, hanya ada bayanganmu yang menjauh. Dan...

Jika Bertahan Tak Pernah Cukup, Haruskah Aku Menyerah

 Aku berdiri di tengah keramaian, tapi rasanya sepi. Mereka semua tertawa, melangkah, berpegangan tangan—sementara aku hanya menatap kosong, bertanya-tanya, “Apa aku tak cukup baik untuk diperjuangkan?” Sudah terlalu sering aku merelakan. Terlalu sering aku dipaksa untuk jadi bijak, untuk mengalah, bahkan saat hatiku ingin berteriak dan berkata, “Kali ini, izinkan aku memilih untuk bertahan.” Tapi tidak pernah ada yang benar-benar tinggal. Mereka datang, lalu pergi. Meninggalkan jejak di dinding hatiku yang makin retak dan rapuh. Aku berusaha tegar, tetap tersenyum, meski rasanya setiap senyum itu seperti luka yang baru disayat. Aku bertanya pada langit malam, “Kenapa aku terus di sini? Kenapa tidak ada yang melihat aku seperti aku melihat mereka?” Aku ingin dicintai tanpa syarat, bukan dijadikan pilihan terakhir. Aku ingin seseorang yang tidak hanya bicara tentang perjuangan, tapi benar-benar menggenggam tanganku saat semuanya mulai runtuh. Seseorang yang takkan lari saat bada...

Aku Pernah Ada, Tapi Tak Pernah Hidup

 Aku seseorang yang selalu merasa hilang. Rasa sedih tak lagi punya tempat di dadaku. Ketika disakiti, dicaci maki, aku hanya diam. Bukan karena kuat—tapi karena sudah terlalu sering. Sampai air mata pun seolah enggan jatuh, seolah mereka pun lelah. Aku tidak bisa menangis lagi. Tidak bisa mengekspresikan diri aku sendiri lagi. Semua rasa seperti tenggelam dalam ruang kosong yang tak bernama. Sehari-hari kujalani dengan wajah biasa, senyum tipis yang lebih sering jadi topeng daripada ungkapan bahagia. Dulu, aku pernah mencoba bicara. Pernah berusaha menjelaskan, bahwa aku lelah, bahwa aku butuh dipeluk, bukan dipukul oleh kata-kata. Tapi mereka bilang aku terlalu sensitif, terlalu manja. Mereka menyuruhku kuat, tanpa benar-benar tahu seberapa keras aku bertahan. Lalu aku memilih diam. Bukan karena tak ingin bicara, tapi karena tak ada yang benar-benar mendengar. Malam adalah waktu paling jujur. Di sanalah aku duduk sendiri di pojok kamar, memandangi langit-langit yang selalu ...

Hidupku Bukan Naskah yang Kalian Tulis

 …ini hidupku. Tolong, bebaskan aku. Jika aku nyaman seperti itu, biarkan aku seperti itu. Bukan karena aku tak mau mendengar nasihat, tapi karena aku ingin belajar dari langkahku sendiri. Aku ingin jatuh, bangkit, lalu jatuh lagi—dengan luka yang aku pahami, bukan luka yang orang lain tentukan untukku. Sebab aku percaya… kebebasan bukan tentang melawan semua aturan, tapi tentang bisa memilih arah tanpa merasa terus-menerus dikendalikan. Aku lelah menjadi boneka dari harapan orang lain. Lelah dipaksa kuat saat aku ingin lemah, dipaksa tersenyum saat aku ingin diam. Mengapa dunia selalu menyalahkanku ketika aku memilih jalanku sendiri? Padahal mereka tak pernah benar-benar tahu apa yang kurasakan. Mereka hanya melihat dari jauh, menilai dari luar, lalu mencap semua pilihan yang kulakukan sebagai kesalahan. Tapi aku tahu… Tuhan pun memberiku hati dan pikiran agar aku bisa memilah, agar aku bisa menentukan hidup seperti apa yang ingin kujalani. Bukan untuk menjadi sa...

Jika Aku yang Meminta Maaf, Akankah Kau Menerima?

 bagaimana jika suatu hari akulah yang meminta maaf, lalu tidak diterima? Bagaimana jika segala niat baikku hanya dianggap basa-basi? Bagaimana jika hatiku yang tulus justru jadi bahan umpatan dan sumpah serapah? Itulah mengapa… memaafkan itu tak pernah mudah. Karena butuh keberanian besar untuk melepaskan sesuatu yang tak pernah diberi penjelasan. Karena terkadang, kita harus memaafkan tanpa pernah mendengar kata "maaf". Tanpa penyesalan, tanpa pengakuan, hanya kita dan luka yang perlahan kita obati sendiri. Dan aku belajar… bahwa menjadi wanita sabar bukan berarti diam dan lemah. Bukan berarti membiarkan diri diinjak atau dilupakan. Tapi justru berarti kuat. Karena wanita sabar tahu bagaimana caranya menelan air mata tanpa membuat dunia ribut, tahu caranya memeluk luka tanpa harus menunjukkannya. Wanita sabar bukan tidak bisa marah. Dia hanya memilih untuk tidak membiarkan amarahnya membakar dirinya sendiri. Dia memilih diam yang bijak, bukan diam yang kalah....

Tambang Menyebut Namaku, Hukum Menjawabnya

 Hai, aku Frizka Indaka. Seorang mahasiswi hukum semester 6, yang dulu sempat merasa salah jurusan. Aku masih ingat jelas, betapa besarnya keinginanku masuk dunia teknik—terutama teknik pertambangan. Rasanya seperti ada bagian dari bumi yang memanggilku, menantangku untuk turun ke dalam perutnya, membaca kisah-kisahnya yang terkubur dalam batu dan waktu. Tapi langkahku justru membawaku ke ruang-ruang perkuliahan hukum. Awalnya aku bingung. Kenapa harus hukum? Kenapa bukan helm proyek, boots lapangan, dan alat ukur geoteknik? Namun seiring waktu, aku sadar. Tuhan tidak pernah salah mengarahkan langkah. Di balik keraguan itu, aku menemukan sisi lain dari dunia pertambangan—sisi yang tak kalah penting: hukum pertambangan, hak masyarakat sekitar tambang, konflik agraria, perlindungan pekerja tambang, dan isu lingkungan. Aku mulai melihat keterhubungan. Bahwa tambang bukan hanya soal alat berat dan batu bara. Tapi juga soal izin, keadilan, regulasi, dan manusia. Dan kalau aku t...

Surat dari Jauh Untuk Ayah

 Haii Ayah, Apa kabarmu di sana? Rasanya sudah lama sekali sejak terakhir kali kita bertemu. Dunia ini semakin sibuk, dan waktu terus berlari tanpa menunggu siapa pun. Tapi rindu... rindu selalu diam di tempat. Ia tetap tinggal, setiap kali aku menyebut namamu dalam hati. Sebentar lagi, gadis kecilmu ini akan berusia 21 tahun. Sudah dewasa, ya, Yah? Tapi entah kenapa, dalam hati ini aku masih sering merasa seperti anak kecil yang menunggumu pulang di depan pintu, membawa oleh-oleh dan senyuman hangat. Tak apa, Ayah. Meskipun jarak membentang jauh antara kita, aku tetap menjadi gadis periang seperti dulu. Aku belajar tertawa, meski tidak ada tanganmu untuk menepuk bahuku. Aku belajar kuat, meski tidak ada suara beratmu yang menenangkan kegelisahanku. Ayah, jangan bersedih di tempatmu sekarang. Gadis kecilmu ini baik-baik saja. Aku dikelilingi orang-orang baik, yang membuat hari-hariku tetap terasa hangat, meski tak sehangat pelukanmu. Aku belajar mandiri, belajar bertumbuh, be...

Gadis yang Tersisa di Dalam Diriku

 Hai… Aku sekarang sudah menjadi wanita dewasa. Katanya aku periang, katanya aku kuat, katanya senyumku bisa menenangkan. Tapi tak ada yang tahu, ada bagian dari diriku yang perlahan-lahan hilang, seperti daun gugur yang tak pernah kembali ke rantingnya. Dulu aku sering bertanya-tanya, kenapa semua orang pergi? Apa aku terlalu membosankan? Terlalu diam? Terlalu banyak bicara? Atau… terlalu berharap mereka akan tinggal? Satu per satu, mereka menjauh. Tanpa alasan. Tanpa penjelasan. Seperti sedang mengejar sesuatu yang lebih penting, lebih indah—bukan aku. Aku mulai tertatih sendirian. Kadang bangun tidur dengan mata bengkak, memeluk bantal seolah bisa bicara, menyalakan lagu-lagu lama yang hanya aku pahami artinya. Di cermin, aku tersenyum. Tapi di balik pantulannya, ada gadis kecil yang masih duduk di sudut ruangan, memeluk lututnya sendiri, menunggu seseorang memeluknya kembali. Gadis itu… Gadis itu masih hidup di dalam diriku. Dia suka bercerita sendiri di depan bonekanya...

Jikalau

Jikalau diambil dari sebuah lagu, maka bait-baitnya adalah kisahku sendiri—tentang kerinduan yang menyesak di dada, tentang janji-janji yang pernah kau ucapkan di antara peluk senja dan rintik hujan. Lagu itu mengalun lirih dari radio tua di sudut kamar, dan setiap katanya seperti mengetuk kembali ingatanku padamu. " Aku akan kembali sebelum senja mengering, " begitu katamu waktu itu. Matamu menatap jauh ke cakrawala, seolah bisa melihat masa depan yang belum tentu hadir. Hari itu, kita duduk berdua di bangku kayu tua, di bawah pohon mangga yang daunnya mulai gugur. Aku masih ingat bagaimana kau menggenggam tanganku erat-erat, seakan takut angin membawa kita ke arah yang berbeda. Kau bicara tentang mimpi, tentang kota yang ingin kau datangi. Dan aku, seperti biasa, hanya mengangguk—setengah mengerti, setengah takut kehilangan. Hari berganti bulan. Bulan berlari menjadi tahun. Dan kau belum kembali. Pesanmu semakin jarang. Suaramu hanya tinggal rekaman kenangan di ujung ma...