Jika Bertahan Tak Pernah Cukup, Haruskah Aku Menyerah
Aku berdiri di tengah keramaian, tapi rasanya sepi. Mereka semua tertawa, melangkah, berpegangan tangan—sementara aku hanya menatap kosong, bertanya-tanya, “Apa aku tak cukup baik untuk diperjuangkan?”
Sudah terlalu sering aku merelakan. Terlalu sering aku dipaksa untuk jadi bijak, untuk mengalah, bahkan saat hatiku ingin berteriak dan berkata, “Kali ini, izinkan aku memilih untuk bertahan.”
Tapi tidak pernah ada yang benar-benar tinggal. Mereka datang, lalu pergi. Meninggalkan jejak di dinding hatiku yang makin retak dan rapuh. Aku berusaha tegar, tetap tersenyum, meski rasanya setiap senyum itu seperti luka yang baru disayat.
Aku bertanya pada langit malam, “Kenapa aku terus di sini? Kenapa tidak ada yang melihat aku seperti aku melihat mereka?”
Aku ingin dicintai tanpa syarat, bukan dijadikan pilihan terakhir. Aku ingin seseorang yang tidak hanya bicara tentang perjuangan, tapi benar-benar menggenggam tanganku saat semuanya mulai runtuh. Seseorang yang takkan lari saat badai datang, seseorang yang mengerti bahwa aku juga manusia—yang kadang lelah, yang kadang butuh dipeluk tanpa banyak tanya.
Dan malam itu, saat aku hampir menyerah pada segalanya, aku bertemu dengannya.
Bukan seseorang yang sempurna. Tapi seseorang yang diam-diam duduk di sebelahku, tanpa bicara banyak, hanya menatapku dan berkata, “Kamu nggak sendirian lagi.”
Dia tidak berjanji langit dan bintang. Tidak membual tentang masa depan yang belum tentu. Tapi dia bertahan. Hari demi hari, di sampingku. Dalam diam yang tenang, dalam tawa yang sederhana, dalam pelukan yang tidak banyak bertanya.
Aku belajar... bahwa mungkin, aku harus hancur dulu untuk tahu bagaimana rasanya dibangun kembali oleh cinta yang benar.
Bukan cinta yang datang hanya saat senang, tapi yang tetap tinggal saat semua terlihat gelap. Yang tidak memaksaku untuk mengalah, tapi menggenggam tanganku dan berkata, “Ayo, kita sama-sama.”
Komentar
Posting Komentar