Jeritan Rakyat di Negeri yang Kaya Raya
Di sebuah negeri yang subur dan kaya raya, kehidupan seharusnya menjadi anugerah yang menenteramkan. Namun, kenyataan berbicara lain. Di balik megahnya gedung-gedung tinggi, ada jeritan yang sering terabaikan. Jeritan itu datang dari perut-perut lapar, dari rakyat kecil yang saban hari bertanya dalam hati: “Hari ini kami makan apa, esok kami bisa bertahan atau tidak?”
Ironisnya, di kala rakyat mengeluh dan menjerit, sebagian wakil rakyat justru tenggelam dalam pesta, berjoget di atas kepedihan bangsanya sendiri. Kekuasaan yang sejatinya adalah amanah, sering berubah menjadi panggung kesenangan pribadi. Padahal, di setiap kursi yang mereka duduki, terselip doa-doa rakyat yang menitipkan harapan.
Wahai para pemimpin, ingatlah: kekuasaan bukanlah warisan abadi, melainkan titipan yang kelak dipertanggungjawabkan, bukan hanya di hadapan manusia, tetapi juga di hadapan Tuhan. Sungguh, sebuah bangsa tidak akan runtuh karena bencana alam, tetapi akan hancur bila pengkhianatan dan penindasan dibiarkan merajalela.
Kami, mahasiswa, hadir bukan sebagai lawan negara, melainkan sebagai suara nurani bangsa. Kami adalah pengingat, bahwa negeri ini dibangun bukan di atas pesta pora, melainkan di atas darah, keringat, dan air mata pejuang terdahulu. Maka, jangan ulangi sejarah kelam itu dengan wajah baru: penindasan atas nama kekuasaan.
Saudara-saudaraku seperjuangan, mari kita kuatkan tekad. Perjuangan ini mungkin penuh luka, tetapi setiap langkah kecil kita adalah bagian dari jalan panjang menuju keadilan. Kita mungkin tidak menuai hasilnya hari ini, namun sejarah akan mencatat, bahwa kita pernah berdiri tegak membela rakyat.
Hidup rakyat! Hidup mahasiswa! Hidup perempuan yang melawan!
Sebab suara rakyat adalah cermin hati bangsa, dan cermin itu tidak boleh retak hanya karena nafsu segelintir penguasa.
Komentar
Posting Komentar