Gadis yang Tersisa di Dalam Diriku
Hai…
Aku sekarang sudah menjadi wanita dewasa. Katanya aku periang, katanya aku kuat, katanya senyumku bisa menenangkan. Tapi tak ada yang tahu, ada bagian dari diriku yang perlahan-lahan hilang, seperti daun gugur yang tak pernah kembali ke rantingnya.
Dulu aku sering bertanya-tanya, kenapa semua orang pergi?
Apa aku terlalu membosankan? Terlalu diam? Terlalu banyak bicara? Atau… terlalu berharap mereka akan tinggal?
Satu per satu, mereka menjauh. Tanpa alasan. Tanpa penjelasan. Seperti sedang mengejar sesuatu yang lebih penting, lebih indah—bukan aku.
Aku mulai tertatih sendirian. Kadang bangun tidur dengan mata bengkak, memeluk bantal seolah bisa bicara, menyalakan lagu-lagu lama yang hanya aku pahami artinya.
Di cermin, aku tersenyum. Tapi di balik pantulannya, ada gadis kecil yang masih duduk di sudut ruangan, memeluk lututnya sendiri, menunggu seseorang memeluknya kembali.
Gadis itu…
Gadis itu masih hidup di dalam diriku. Dia suka bercerita sendiri di depan bonekanya, tertawa keras saat hujan turun, dan menari pelan di kamar gelap. Dia tidak takut kesepian—karena dia sudah akrab dengannya.
Dialah yang menghiburku saat malam terasa terlalu panjang.
Dialah yang berkata, “Kita tidak apa-apa. Kita masih punya diri kita sendiri.”
Kadang aku merasa ingin memeluknya. Tapi dia terlalu jauh, tersembunyi di balik luka yang bahkan sudah lupa asalnya dari mana.
Semua orang bilang aku sudah berubah. Tapi mereka tak tahu, aku hanya sedang mencoba menjadi versi terbaik dari diriku yang tersisa.
Versi yang masih bertahan, meski tanpa pegangan.
Versi yang masih bisa tersenyum, meski tidak ada yang melihat.
Dan mungkin…
Mungkin tidak apa-apa menjadi sendiri. Karena selama gadis itu masih ada di dalam diriku, aku tahu—aku tidak benar-benar sendiri.
Komentar
Posting Komentar