Jikalau
Jikalau diambil dari sebuah lagu, maka bait-baitnya adalah kisahku sendiri—tentang kerinduan yang menyesak di dada, tentang janji-janji yang pernah kau ucapkan di antara peluk senja dan rintik hujan. Lagu itu mengalun lirih dari radio tua di sudut kamar, dan setiap katanya seperti mengetuk kembali ingatanku padamu.
"Aku akan kembali sebelum senja mengering," begitu katamu waktu itu. Matamu menatap jauh ke cakrawala, seolah bisa melihat masa depan yang belum tentu hadir.
Hari itu, kita duduk berdua di bangku kayu tua, di bawah pohon mangga yang daunnya mulai gugur. Aku masih ingat bagaimana kau menggenggam tanganku erat-erat, seakan takut angin membawa kita ke arah yang berbeda. Kau bicara tentang mimpi, tentang kota yang ingin kau datangi. Dan aku, seperti biasa, hanya mengangguk—setengah mengerti, setengah takut kehilangan.
Hari berganti bulan. Bulan berlari menjadi tahun. Dan kau belum kembali.
Pesanmu semakin jarang. Suaramu hanya tinggal rekaman kenangan di ujung malamku. Tapi aku tetap di sini, di kota yang sama, di bangku kayu yang kini mulai lapuk. Masih menunggumu pulang.
Aku menulis surat yang tak pernah terkirim. Aku menyanyikan lagu yang tak pernah selesai. Dan aku menua bersama harapan yang tak kunjung nyata.
Kadang aku bertanya, apakah kau lupa pada janji itu? Ataukah janji itu terlalu ringan hingga mudah terbawa angin?
Namun tetap saja, setiap senja datang, aku memandang langit. Mencari tanda. Mungkin suatu hari kau akan kembali. Atau setidaknya, membisikkan kabar lewat angin sore yang menyentuh pipiku dengan lembut.
Karena meski segala yang kau janjikan belum terwujud, hatiku masih menyisakan ruang—untuk rindu, untuk pengertian, dan untuk janji yang belum sempat ditepati.
Komentar
Posting Komentar