Bukan Aku yang Tak Siap, Tapi Kau yang Tak Mampu Menunggu

 “Apakah perbedaan umur bisa jadi alasan?”

Pertanyaan itu terus bergema di kepalaku. Seolah tiap kali aku mencoba memahami kepergianmu, hanya itu jawabannya—umur.

Katamu aku belum cukup dewasa. Belum cukup matang.
Padahal aku tak butuh menjadi sempurna sekarang, aku hanya ingin kau percaya bahwa aku sedang menuju ke sana. Untukmu.

Tapi kau memilih pergi.
Meninggalkan aku yang baru saja belajar bagaimana cara menggenggam.
Meninggalkan aku, saat aku mulai yakin bahwa cintaku bisa menyamamu.

“Kenapa kau tak cukup sabar?”
Aku ingin berteriak.
Bukankah mencintai artinya menunggu? Bukankah mencinta itu percaya bahwa waktu bisa menyembuhkan celah?

Aku tak pernah minta kau menunggu seumur hidup. Aku hanya minta sedikit saja...
Sedikit keberanian untuk tetap tinggal.
Sedikit kesabaran untuk melihatku tumbuh, bukan pergi saat aku baru mulai berakar.

Malam-malam setelah kepergianmu jadi sunyi yang menggigit.
Setiap aku menoleh ke belakang, hanya ada bayanganmu yang menjauh.
Dan aku berdiri di sini—bukan karena aku tak bisa melangkah, tapi karena aku masih berharap…
Kau akan menoleh dan berkata, “Aku salah. Aku seharusnya bertahan.”

Tapi harapan itu rapuh. Dan semakin lama, ia mulai patah.

Kini aku hanya bisa berkata dalam hati,
“Jika aku belum cukup saat itu, bukan berarti aku takkan pernah cukup. Kau hanya terlalu cepat menyerah.”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tambang Menyebut Namaku, Hukum Menjawabnya

Jikalau

Hidupku Bukan Naskah yang Kalian Tulis