Aku Pernah Ada, Tapi Tak Pernah Hidup
Aku seseorang yang selalu merasa hilang.
Rasa sedih tak lagi punya tempat di dadaku. Ketika disakiti, dicaci maki, aku hanya diam. Bukan karena kuat—tapi karena sudah terlalu sering. Sampai air mata pun seolah enggan jatuh, seolah mereka pun lelah.
Aku tidak bisa menangis lagi. Tidak bisa mengekspresikan diri aku sendiri lagi. Semua rasa seperti tenggelam dalam ruang kosong yang tak bernama. Sehari-hari kujalani dengan wajah biasa, senyum tipis yang lebih sering jadi topeng daripada ungkapan bahagia.
Dulu, aku pernah mencoba bicara. Pernah berusaha menjelaskan, bahwa aku lelah, bahwa aku butuh dipeluk, bukan dipukul oleh kata-kata. Tapi mereka bilang aku terlalu sensitif, terlalu manja. Mereka menyuruhku kuat, tanpa benar-benar tahu seberapa keras aku bertahan.
Lalu aku memilih diam.
Bukan karena tak ingin bicara, tapi karena tak ada yang benar-benar mendengar.
Malam adalah waktu paling jujur. Di sanalah aku duduk sendiri di pojok kamar, memandangi langit-langit yang selalu gelap, sama seperti isi hatiku. Tak ada air mata, hanya dada yang sesak, seperti ingin meledak tapi tak tahu bagaimana caranya.
Aku iri pada orang yang bisa menangis. Iri pada mereka yang bisa marah, berteriak, bahkan menulis puisi dari rasa sakit mereka. Aku hanya... mati rasa. Tidak marah. Tidak sedih. Tidak bahagia. Hanya... kosong.
Kadang aku bertanya, apa aku masih hidup? Atau hanya seonggok tubuh yang masih bergerak karena kebiasaan?
Namun dalam kekosongan itu, ada satu hal yang tetap ada: harapan kecil. Meski samar, ia belum padam. Mungkin suatu hari nanti, aku akan bertemu seseorang yang tidak hanya melihatku, tapi benar-benar melihat aku. Yang tidak menuntutku untuk kuat, tapi bersedia duduk bersamaku dalam diam. Menunggu sampai aku bisa bicara lagi, bisa menangis lagi.
Dan mungkin, saat itu tiba, aku bisa hidup kembali. Bukan sebagai bayangan, tapi sebagai aku—yang utuh.
Komentar
Posting Komentar