Postingan

Dari Keraguan Menuju Kepastian

 Ketika pertama kali melangkahkan kaki ke Fakultas Hukum, saya diselimuti kebimbangan dan keraguan yang mendalam. Pertanyaan-pertanyaan terus menghantui setiap malam: apakah ini pilihan yang tepat? Akankah saya mampu memahami kompleksitas dunia hukum yang begitu luas? Apakah saya cukup kuat untuk menghadapi beban moral dan intelektual yang akan saya pikul? Keraguan itu bukan tanpa alasan. Hukum, dalam persepsi awal saya, adalah bidang yang kaku, penuh dengan hafalan pasal-pasal yang membosankan, dan terkesan jauh dari kehidupan nyata. Saya membayangkan diri saya tenggelam dalam tumpukan buku-buku tebal, menganalisis kasus-kasus yang terasa asing dan tidak relevan dengan dunia yang saya kenal. Ketakutan akan kegagalan akademis dan ketidakcocokan dengan bidang ini sempat membuat saya mempertimbangkan untuk mengubah pilihan. Namun, takdir membawa saya pada titik balik yang tidak pernah saya duga—sebuah momen pencerahan yang datang melalui studi hukum pidana. Momen itu tiba ketika sa...

Jeritan Rakyat di Negeri yang Kaya Raya

  Di sebuah negeri yang subur dan kaya raya, kehidupan seharusnya menjadi anugerah yang menenteramkan. Namun, kenyataan berbicara lain. Di balik megahnya gedung-gedung tinggi, ada jeritan yang sering terabaikan. Jeritan itu datang dari perut-perut lapar, dari rakyat kecil yang saban hari bertanya dalam hati: “Hari ini kami makan apa, esok kami bisa bertahan atau tidak?” Ironisnya, di kala rakyat mengeluh dan menjerit, sebagian wakil rakyat justru tenggelam dalam pesta, berjoget di atas kepedihan bangsanya sendiri. Kekuasaan yang sejatinya adalah amanah, sering berubah menjadi panggung kesenangan pribadi. Padahal, di setiap kursi yang mereka duduki, terselip doa-doa rakyat yang menitipkan harapan. Wahai para pemimpin, ingatlah: kekuasaan bukanlah warisan abadi, melainkan titipan yang kelak dipertanggungjawabkan, bukan hanya di hadapan manusia, tetapi juga di hadapan Tuhan. Sungguh, sebuah bangsa tidak akan runtuh karena bencana alam, tetapi akan hancur bila pengkhianatan dan peninda...

Surat Terbuka untuk Aparat Negara

Aparat negara, kalian adalah amanah bangsa dan negeri ini. Mengapa kalian tega memukul dan menindas kami? Kami ini bukan musuh, kami hanyalah mahasiswa, anak muda yang mencoba menjaga suara rakyat. Seragam yang kalian kenakan bukanlah jubah dewa. Itu hanyalah tanda bahwa kalian adalah pelayan rakyat, tameng yang seharusnya melindungi kami dari bahaya. Namun mengapa justru tameng itu kalian gunakan untuk melukai tubuh-tubuh lemah kami? Wahai aparat, ingatlah setiap kali pentunganmu terayun, ada seorang ibu yang menunggu anaknya pulang. Ingatlah setiap kali pelurumu ditembakkan, ada seorang ayah yang berdoa agar anaknya selamat. Dan setiap kali seorang mahasiswa hilang, ada keluarga yang kehilangan harapan. Apakah kalian lupa bahwa darah yang mengalir di tubuh kami sama merahnya dengan darah kalian? Apakah kalian lupa bahwa kami sama-sama anak bangsa yang seharusnya saling menjaga, bukan saling melukai? Kawan-kawan, sebelum pro dan kontra menelan kita, sebelum aku dicari dan mungkin hila...

Mengapa Selalu Aku yang Harus Berubah?

 ...aku lelah. Lelah menjadi tempat pelampiasan. Lelah menjadi pihak yang selalu disuruh memahami, disuruh mengalah, disuruh mengubah diri, seolah hanya aku yang salah dalam setiap cerita. Padahal aku pun punya hati. Aku juga manusia, yang bisa terluka, bisa kecewa, dan bisa merasa cukup. Aku sudah terlalu sering diam dan memaafkan, bukan karena aku lemah… tapi karena aku berharap mereka bisa melihat ketulusanku. Tapi ternyata, diamku dianggap tak punya suara. Maafku dianggap tidak punya harga. Setiap kali aku mencoba berbicara, mereka bilang aku terlalu sensitif. Setiap kali aku jujur, mereka bilang aku cari perhatian. Tapi saat mereka yang marah, dunia seolah mengerti. Saat mereka menyakiti, semua diam membisu. Lalu di mana keadilan untuk perasaanku? Aku tidak ingin terus-menerus menjadi korban, menjadi nama yang mudah dicemooh, menjadi luka yang dianggap biasa. Aku pun ingin dimengerti, didengarkan, dihargai — seperti mereka menuntut untuk diperlakukan. Tapi aku sadar, mungki...

“Tertawa Di Depan Rakyat, Menangis Di Balik Dosa”

  Hai, namaku Frizka. Aku ingin bercerita tentang masa kelam yang pernah aku alami. Tentang luka yang tak terlihat, tapi menghantui setiap hari. Waktu itu aku masih SMA. Aku tumbuh dalam lingkungan yang seharusnya melindungi, tapi justru sebaliknya. Sosok yang dikenal masyarakat sebagai prajurit yang patuh, ramah, dan penuh wibawa—justru menjadi penyebab trauma paling dalam dalam hidupku. Aku tak menjelekan institusinya, aku menghormatinya. Tapi yang melukaiku adalah oknum. Dan ya, aku berani menyebutnya begitu: seorang oknum. Dia melakukan hal yang tak pantas. Sesuatu yang mencuri kepercayaan, kebebasan, bahkan rasa aman dari tubuhku sendiri. Setelah itu, aku menjadi pribadi yang diam. Aku takut. Aku bingung. Aku merasa kotor dan jijik terhadap diriku sendiri. Tapi waktu, walau perlahan dan menyakitkan, memberi ruang untukku bernapas. Aku mulai menulis. Menumpahkan luka lewat kata. Aku mulai menyadari: luka bukan aib. Diam bukan kesalahan. Aku tidak salah hanya karena aku dilukai....

Satu Pucuk Bunga untuk Aku yang Tak Lagi di Sampingmu

 Hai… ini aku. Aku yang selalu jadi si periang di antara kita. Aku yang sering kalian panggil pelawak karena tawa yang selalu kusembunyikan di balik lelahku. Tak terasa, sudah delapan tahun kita berjalan bersama dalam ikatan yang tak pernah retak: persahabatan. Untuk kalian, yang selalu ada, Yang tak pernah lelah menjadi pelindung saat aku terjatuh, Yang tak pernah pergi saat aku tertekan, Yang tetap di sini, saat semua orang menjauh. Elvin, Aul, Desy… Kalian adalah cahaya kecil yang selalu membuat hari gelapku terasa sedikit lebih terang. Kalian adalah pelukan diam yang tak pernah kupinta, tapi selalu kutemukan saat aku butuh. Terima kasih sudah membanggakan aku, bahkan di saat aku tak bisa membanggakan diriku sendiri. Jika suatu hari nanti, langkahku harus berhenti lebih dulu, Jangan lupa untuk datang… Bukan dengan kue, bukan dengan kado— Cukup satu pucuk bunga yang harum dan cantik, Seperti yang selalu kalian tahu, aku menyukainya. Datanglah setiap tanggal 12 Ju...

Bukan Aku yang Tak Siap, Tapi Kau yang Tak Mampu Menunggu

 “Apakah perbedaan umur bisa jadi alasan?” Pertanyaan itu terus bergema di kepalaku. Seolah tiap kali aku mencoba memahami kepergianmu, hanya itu jawabannya—umur. Katamu aku belum cukup dewasa. Belum cukup matang. Padahal aku tak butuh menjadi sempurna sekarang, aku hanya ingin kau percaya bahwa aku sedang menuju ke sana. Untukmu. Tapi kau memilih pergi. Meninggalkan aku yang baru saja belajar bagaimana cara menggenggam. Meninggalkan aku, saat aku mulai yakin bahwa cintaku bisa menyamamu. “Kenapa kau tak cukup sabar?” Aku ingin berteriak. Bukankah mencintai artinya menunggu? Bukankah mencinta itu percaya bahwa waktu bisa menyembuhkan celah? Aku tak pernah minta kau menunggu seumur hidup. Aku hanya minta sedikit saja... Sedikit keberanian untuk tetap tinggal. Sedikit kesabaran untuk melihatku tumbuh, bukan pergi saat aku baru mulai berakar. Malam-malam setelah kepergianmu jadi sunyi yang menggigit. Setiap aku menoleh ke belakang, hanya ada bayanganmu yang menjauh. Dan...