Postingan

Mengapa Selalu Aku yang Harus Berubah?

 ...aku lelah. Lelah menjadi tempat pelampiasan. Lelah menjadi pihak yang selalu disuruh memahami, disuruh mengalah, disuruh mengubah diri, seolah hanya aku yang salah dalam setiap cerita. Padahal aku pun punya hati. Aku juga manusia, yang bisa terluka, bisa kecewa, dan bisa merasa cukup. Aku sudah terlalu sering diam dan memaafkan, bukan karena aku lemah… tapi karena aku berharap mereka bisa melihat ketulusanku. Tapi ternyata, diamku dianggap tak punya suara. Maafku dianggap tidak punya harga. Setiap kali aku mencoba berbicara, mereka bilang aku terlalu sensitif. Setiap kali aku jujur, mereka bilang aku cari perhatian. Tapi saat mereka yang marah, dunia seolah mengerti. Saat mereka menyakiti, semua diam membisu. Lalu di mana keadilan untuk perasaanku? Aku tidak ingin terus-menerus menjadi korban, menjadi nama yang mudah dicemooh, menjadi luka yang dianggap biasa. Aku pun ingin dimengerti, didengarkan, dihargai — seperti mereka menuntut untuk diperlakukan. Tapi aku sadar, mungki...

“Tertawa Di Depan Rakyat, Menangis Di Balik Dosa”

  Hai, namaku Frizka. Aku ingin bercerita tentang masa kelam yang pernah aku alami. Tentang luka yang tak terlihat, tapi menghantui setiap hari. Waktu itu aku masih SMA. Aku tumbuh dalam lingkungan yang seharusnya melindungi, tapi justru sebaliknya. Sosok yang dikenal masyarakat sebagai prajurit yang patuh, ramah, dan penuh wibawa—justru menjadi penyebab trauma paling dalam dalam hidupku. Aku tak menjelekan institusinya, aku menghormatinya. Tapi yang melukaiku adalah oknum. Dan ya, aku berani menyebutnya begitu: seorang oknum. Dia melakukan hal yang tak pantas. Sesuatu yang mencuri kepercayaan, kebebasan, bahkan rasa aman dari tubuhku sendiri. Setelah itu, aku menjadi pribadi yang diam. Aku takut. Aku bingung. Aku merasa kotor dan jijik terhadap diriku sendiri. Tapi waktu, walau perlahan dan menyakitkan, memberi ruang untukku bernapas. Aku mulai menulis. Menumpahkan luka lewat kata. Aku mulai menyadari: luka bukan aib. Diam bukan kesalahan. Aku tidak salah hanya karena aku dilukai....

Satu Pucuk Bunga untuk Aku yang Tak Lagi di Sampingmu

 Hai… ini aku. Aku yang selalu jadi si periang di antara kita. Aku yang sering kalian panggil pelawak karena tawa yang selalu kusembunyikan di balik lelahku. Tak terasa, sudah delapan tahun kita berjalan bersama dalam ikatan yang tak pernah retak: persahabatan. Untuk kalian, yang selalu ada, Yang tak pernah lelah menjadi pelindung saat aku terjatuh, Yang tak pernah pergi saat aku tertekan, Yang tetap di sini, saat semua orang menjauh. Elvin, Aul, Desy… Kalian adalah cahaya kecil yang selalu membuat hari gelapku terasa sedikit lebih terang. Kalian adalah pelukan diam yang tak pernah kupinta, tapi selalu kutemukan saat aku butuh. Terima kasih sudah membanggakan aku, bahkan di saat aku tak bisa membanggakan diriku sendiri. Jika suatu hari nanti, langkahku harus berhenti lebih dulu, Jangan lupa untuk datang… Bukan dengan kue, bukan dengan kado— Cukup satu pucuk bunga yang harum dan cantik, Seperti yang selalu kalian tahu, aku menyukainya. Datanglah setiap tanggal 12 Ju...

Bukan Aku yang Tak Siap, Tapi Kau yang Tak Mampu Menunggu

 “Apakah perbedaan umur bisa jadi alasan?” Pertanyaan itu terus bergema di kepalaku. Seolah tiap kali aku mencoba memahami kepergianmu, hanya itu jawabannya—umur. Katamu aku belum cukup dewasa. Belum cukup matang. Padahal aku tak butuh menjadi sempurna sekarang, aku hanya ingin kau percaya bahwa aku sedang menuju ke sana. Untukmu. Tapi kau memilih pergi. Meninggalkan aku yang baru saja belajar bagaimana cara menggenggam. Meninggalkan aku, saat aku mulai yakin bahwa cintaku bisa menyamamu. “Kenapa kau tak cukup sabar?” Aku ingin berteriak. Bukankah mencintai artinya menunggu? Bukankah mencinta itu percaya bahwa waktu bisa menyembuhkan celah? Aku tak pernah minta kau menunggu seumur hidup. Aku hanya minta sedikit saja... Sedikit keberanian untuk tetap tinggal. Sedikit kesabaran untuk melihatku tumbuh, bukan pergi saat aku baru mulai berakar. Malam-malam setelah kepergianmu jadi sunyi yang menggigit. Setiap aku menoleh ke belakang, hanya ada bayanganmu yang menjauh. Dan...

Jika Bertahan Tak Pernah Cukup, Haruskah Aku Menyerah

 Aku berdiri di tengah keramaian, tapi rasanya sepi. Mereka semua tertawa, melangkah, berpegangan tangan—sementara aku hanya menatap kosong, bertanya-tanya, “Apa aku tak cukup baik untuk diperjuangkan?” Sudah terlalu sering aku merelakan. Terlalu sering aku dipaksa untuk jadi bijak, untuk mengalah, bahkan saat hatiku ingin berteriak dan berkata, “Kali ini, izinkan aku memilih untuk bertahan.” Tapi tidak pernah ada yang benar-benar tinggal. Mereka datang, lalu pergi. Meninggalkan jejak di dinding hatiku yang makin retak dan rapuh. Aku berusaha tegar, tetap tersenyum, meski rasanya setiap senyum itu seperti luka yang baru disayat. Aku bertanya pada langit malam, “Kenapa aku terus di sini? Kenapa tidak ada yang melihat aku seperti aku melihat mereka?” Aku ingin dicintai tanpa syarat, bukan dijadikan pilihan terakhir. Aku ingin seseorang yang tidak hanya bicara tentang perjuangan, tapi benar-benar menggenggam tanganku saat semuanya mulai runtuh. Seseorang yang takkan lari saat bada...

Aku Pernah Ada, Tapi Tak Pernah Hidup

 Aku seseorang yang selalu merasa hilang. Rasa sedih tak lagi punya tempat di dadaku. Ketika disakiti, dicaci maki, aku hanya diam. Bukan karena kuat—tapi karena sudah terlalu sering. Sampai air mata pun seolah enggan jatuh, seolah mereka pun lelah. Aku tidak bisa menangis lagi. Tidak bisa mengekspresikan diri aku sendiri lagi. Semua rasa seperti tenggelam dalam ruang kosong yang tak bernama. Sehari-hari kujalani dengan wajah biasa, senyum tipis yang lebih sering jadi topeng daripada ungkapan bahagia. Dulu, aku pernah mencoba bicara. Pernah berusaha menjelaskan, bahwa aku lelah, bahwa aku butuh dipeluk, bukan dipukul oleh kata-kata. Tapi mereka bilang aku terlalu sensitif, terlalu manja. Mereka menyuruhku kuat, tanpa benar-benar tahu seberapa keras aku bertahan. Lalu aku memilih diam. Bukan karena tak ingin bicara, tapi karena tak ada yang benar-benar mendengar. Malam adalah waktu paling jujur. Di sanalah aku duduk sendiri di pojok kamar, memandangi langit-langit yang selalu ...

Hidupku Bukan Naskah yang Kalian Tulis

 …ini hidupku. Tolong, bebaskan aku. Jika aku nyaman seperti itu, biarkan aku seperti itu. Bukan karena aku tak mau mendengar nasihat, tapi karena aku ingin belajar dari langkahku sendiri. Aku ingin jatuh, bangkit, lalu jatuh lagi—dengan luka yang aku pahami, bukan luka yang orang lain tentukan untukku. Sebab aku percaya… kebebasan bukan tentang melawan semua aturan, tapi tentang bisa memilih arah tanpa merasa terus-menerus dikendalikan. Aku lelah menjadi boneka dari harapan orang lain. Lelah dipaksa kuat saat aku ingin lemah, dipaksa tersenyum saat aku ingin diam. Mengapa dunia selalu menyalahkanku ketika aku memilih jalanku sendiri? Padahal mereka tak pernah benar-benar tahu apa yang kurasakan. Mereka hanya melihat dari jauh, menilai dari luar, lalu mencap semua pilihan yang kulakukan sebagai kesalahan. Tapi aku tahu… Tuhan pun memberiku hati dan pikiran agar aku bisa memilah, agar aku bisa menentukan hidup seperti apa yang ingin kujalani. Bukan untuk menjadi sa...