Postingan

Menampilkan postingan dari Juni, 2025

Mengapa Selalu Aku yang Harus Berubah?

 ...aku lelah. Lelah menjadi tempat pelampiasan. Lelah menjadi pihak yang selalu disuruh memahami, disuruh mengalah, disuruh mengubah diri, seolah hanya aku yang salah dalam setiap cerita. Padahal aku pun punya hati. Aku juga manusia, yang bisa terluka, bisa kecewa, dan bisa merasa cukup. Aku sudah terlalu sering diam dan memaafkan, bukan karena aku lemah… tapi karena aku berharap mereka bisa melihat ketulusanku. Tapi ternyata, diamku dianggap tak punya suara. Maafku dianggap tidak punya harga. Setiap kali aku mencoba berbicara, mereka bilang aku terlalu sensitif. Setiap kali aku jujur, mereka bilang aku cari perhatian. Tapi saat mereka yang marah, dunia seolah mengerti. Saat mereka menyakiti, semua diam membisu. Lalu di mana keadilan untuk perasaanku? Aku tidak ingin terus-menerus menjadi korban, menjadi nama yang mudah dicemooh, menjadi luka yang dianggap biasa. Aku pun ingin dimengerti, didengarkan, dihargai — seperti mereka menuntut untuk diperlakukan. Tapi aku sadar, mungki...

“Tertawa Di Depan Rakyat, Menangis Di Balik Dosa”

  Hai, namaku Frizka. Aku ingin bercerita tentang masa kelam yang pernah aku alami. Tentang luka yang tak terlihat, tapi menghantui setiap hari. Waktu itu aku masih SMA. Aku tumbuh dalam lingkungan yang seharusnya melindungi, tapi justru sebaliknya. Sosok yang dikenal masyarakat sebagai prajurit yang patuh, ramah, dan penuh wibawa—justru menjadi penyebab trauma paling dalam dalam hidupku. Aku tak menjelekan institusinya, aku menghormatinya. Tapi yang melukaiku adalah oknum. Dan ya, aku berani menyebutnya begitu: seorang oknum. Dia melakukan hal yang tak pantas. Sesuatu yang mencuri kepercayaan, kebebasan, bahkan rasa aman dari tubuhku sendiri. Setelah itu, aku menjadi pribadi yang diam. Aku takut. Aku bingung. Aku merasa kotor dan jijik terhadap diriku sendiri. Tapi waktu, walau perlahan dan menyakitkan, memberi ruang untukku bernapas. Aku mulai menulis. Menumpahkan luka lewat kata. Aku mulai menyadari: luka bukan aib. Diam bukan kesalahan. Aku tidak salah hanya karena aku dilukai....